Info&tanya jawab

Senin, 21 Oktober 2019

Suatu Hari Minggu di Kampung Lama Lewouran

Foto:  Disparbud Flores Timur

Hari ini, Minggu (20/10/2019), negara ini kembali mencatatkan sebuah momentum penting dalam sejarahnya ketika Ir. Joko Widodo dan Ma’aruf Amin diambil sumpah dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden negara kita periode 2019-2024. Dan hari ini juga saya dan beberapa teman dari Disparbud Flores Timur pun punya catatan sendiri ketika mengunjungi Lewouran, sebuah kampung di pesisir pantai di Kecamatan Ile Bura untuk menyaksikan ritual pembangunan Koke Bale Wai Uran di sana.
Menembus jalanan di pantai selatan di sebelah barat kabupaten Flores Timur memberikan pengalaman perjalanan yang menarik. Jalanan yang lumayan sepi, ditemani suara debur ombak dan sepoi angin yang berhembus seolah menghantar kami tiba di Lewouran ketika siang sudah di atas kepala. Dedi Kedang, seorang pria muda yang sedari tadi menunggu kami menyambut kami dengan senyum yang ramah. Dia lalu mengajak kami menuju lokasi acara dengan berjalan kaki.
“Masih jauh kah dari sini?”
“Satu kilometer lebih,” jawabnya.
Ya, jalan setapak yang kami lalui memang cukup jauh hingga menuju lokasi acara. Jalanan menanjak yang sesekali diselipi jalan lurus mendatar memang lumayan menyiksa akibat kolestrol yang menumpuk di perut hehe. Namun, perjalan harus tetap ditempuh. Beberapa kali saya melihat bekas susunan batu yang cukup rapih, pertanda pernah dimanfaatkan oleh orang-orang di situ. Ternyata lokasi itu merupakan perkampungan lama atau yang sering disebut lewo okin orang Lewouran. “Sejak diajak oleh pemerintah, masyarakat baru turun satu-satu ke kampung yang ada sekarang. Itu sekitar tahun tujuh puluhan,” jelas Dedi.


Lutut saya mulai gemetar dan napas mulai terengal-engal, namun sayup-sayup suara nyanyian yang terdengar dari kejauhan membangkitkan semangat saya. Kami lalu mendapati empat wanita berpakaian tenun yang sedang menarikan tarian Raja Sina, seperti tarian menumbuk padi sambil melantunkan pantun dan syair. “Kami latih-latih dulu di sini, sebentar baru kami pentas di atas,” jawab Mama Monika, salah satu penarinya ketika ditanya tentang aktifitas mereka di situ. Semacam gladi resik-lah.
Tak jauh dari situ, tepat di pinggir jalan setapak itu, bergantungan beberapa kantong plastik hijau di dahan-dahan kayu kering. “Ini adalah tempat menggantung ari-ari bayi yang baru lahir,” jelas Dedi. Hmm, kedengarannya cukup menegangkan! Hhhe .. Kami tiba di lokasi acara, sebuah tempat landai yang tidak terlalu besar, dengan sebuah pohon beringin muda yang menaungi. Di bawah pohon itu, sebuah meja batu berada. Menurut cerita orang-orang di situ, tempat ini adalah meja altar yang digunakan oleh Pater Kornelis Jean Smith SVD untuk mengadakan perayaan ekaristi sebagi syukur atas panen. “Itu sekitar tahun tujuh puluhan menurut cerita tua-tua adat. Saat misa, tiba-tiba hujan turun dan semua umatpun basah kuyub,” terang Pak Ansel Muda, seorang sesepuh masyarakat di situ. Saya pun membayangkan suasananya saat itu. Pastinya seru!
Ritual pendirian rumah adatpun dimulai. Empat suku besar di Lewouran yakni, Muda, Uran, Kwure dan Kwuta menjadi tokoh-tokoh utama dalam ritual ini. Beberapa tuah adat berdiri di sekitar empat lubang yang akan ditancapkan tiang-tiang rumah adat. Seekor babi sebagai hewan kurban pun siap disembelih dan dagingnya diolah di tempat itu juga. Setelah tiang ditancapkan, para bapak dan pria dewasa lalu menggotong sebuah atap dari rumput ilalang yang berada di sekitar situ dan meletakannya di atas empat tiangnya.
Suasana penuh dengan keakraban bahkan tak jarang diselingi candaan mama-mama yang lucu ketika melihat bapak-bapak dan pria dewasa lainnya sedang berusaha menaikan atap di atas keempat tiang tersebut. Mama-mama pun tak ketinggalan acara. Setelah atap selesai dipasang, mereka masuk ke dalam Koke Bale dan mendendangkan beberapa lagu tentang kampung Lewouran yang begitu manis didengar. Setelah Koke Bale berdiri sempurna, ritual dilanjutkan dengan pemberkatan oleh sesepuh adat. Sebuah kelapa muda lalu dipotong dan airnya diperciki di sekitar rumah adat tersebut dan warga yang hadir di situ.
Hidangan pun sudah siap. Daging kurban yang dimasak dan diolah dengan cara yang sangat sederhana tanpa bumbu yang banyak itu lalu dibawa masuk ke dalam Koke Bale untuk disantap bersama secara simbolis dengan nasi putih yang gurih. Tak lupa saya pun ditawari, namanya rejeki jangan ditolak, kata sinetron di televisi hehe..
Menurut Pak Fanty Uran, seorang tokoh pemuda dan penulis buku asal Lewouran yang telah menerbitkan bukunya tentang budaya di Lewouran dan sekitarnya setahun yang lalu itu, ritual ini merupakan semacam sebuah restorasi nilai. “Koke Bale yang dibangun ini merupakan rumah adat yang sesungguhnya pernah dibangun oleh warga setempat puluhan tahun silam,” ungkapnya. Niat merostorasi nilai ini sesungguhnya sudah diawali setahun yang lalu pada tanggal yang sama ketika dia menggelar sebuah seminar kebudayaan di Lewouran. Dari seminar ini, kemudian muncullah gagasan dan niat untuk melakukan tindakan nyata sebagai upaya pelestarian lingkungan seperti pemeliharaan terumbuh karang dan penyu yang sudah dilakukannya bersama warga kampung. “Jadi, restorasi nilai dalam Koke Bale ini merupakan bagian dari niat yang sudah dibangun setahun yang lalu, yang kemudian pada hari ini telah berhasil diwujudkan,” jelasnya. Luar biasa pak! Angkat topi buat bapak!
“Kita tidak boleh hanya berbangga bahwa kita telah berpartisipasi dalam ritual ini. Kita harus mampu melihat dan mengembangkan nilai apa yang bisa kita wujudkan dan hasilkan dari kegiatan ini,” tandas pria yang juga menjadi anggota KPUD Flotim ini. Hmm, ini pikiran yang keren, menurut saya karena ritual dan sebagainya hanyalah sebuah peristiwa semata. Ketika peristiwa itu sudah mampu dimaknai dan diwujudkan dalam tindakan bijak manusia, di situlah sebenarnya arti sebuah kebudayaan yang membangun dan memajukan. Asyik khan?
Di akhir semua ritual ini, sajian tarian Raja Sina oleh mama-mama sebagai ungkapan kecintaan pada padi dan bumi secara keseluruhan dan tarian Sikat Mula oleh bapak-bapak dan mama-mama yang melukiskan proses bertani, sangat menghibur dan menjadikan sore di lereng bukit Lewouran ini menjadi sangat berkesan. Mendung tiba-tiba menggantung di atas kami, seolah alam memberi tanda bahwa sudah saatnya kami harus meninggalkan tempat itu. Dan, iringan-iringan yang diselingi canda dan tawa membuat langkah kami semakin enteng untuk menapaki setapak menuju kampung Lewouran.
Segelas kopi hitam panas sebagai ucapan perpisahan di rumah salah satu warga melengkapi cerita kami hari ini. Menembus malam untuk pulang, ada banyak pesan yang kami bawa. Satu yang paling pasti; manusia tak boleh kehilangan budayanya karena layaknya akar, budayalah yang akan menguatkan kita menghadapi perkembangan jaman dengan segala konsekuensinya. Terima kasih Lewouran untuk cerita di suatu hari minggu yang menginspirasi! (Story writer : Berrye T.)
Foto:  Disparbud Flores Timur


Foto:  Disparbud Flores Timur

Foto:  Disparbud Flores Timur

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar